Menakar Ilmu di Tengah Pusaran Informasi: Terinspirasi Insight Literasi Hernowo Hasim
Karya Monumental Hernowo Hasim, (Almagfurlah.)
Penulis 24 Buku dalam 4 Tahun
Sudah kita maklumi, zaman now ini sangat mudah mendapatkan ilmu dan informasi. Benarkah demikian? Ya, setiap detik informasi "bersliweran" nyaris tak terbendung. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan untuk men-tabayyun, men-check and recheck agar informasi itu bermanfaat untuk peradaban umat manusia.
Pada ranah sosial media, setiap saat dinamika informasi akselerasinya luar biasa. Sering kita temukan, sebuah tulisan tidak jelas "perawinya" sehingga menimbulkan spekulasi bahkan alih-alih isinya memprovokasi bisa jadi mengarah pada disintegrasi. Sangat berbahaya bukan?
Untuk mengantisipasi fenomena
gencar yang cenderung tidak edukatif tersebut, minimal ada beberapa catatan
penting sebagai langkah strategik agar informasi dapat bernilai manfaat bahkan
maslahat secara universal.
Pertama,
di setiap grup WA harus disepakati aturan bahwa setiap anggota grup harus men-share
tulisan orisinal dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Mengapa harus orisinal? Karena dengan komitmen ini, semua anggota grup berupaya
memproduksi gagasan yang klimaksnya akan menghasilkan sebuah karya bermanfaat
yang siap dinikmati publik. Indah bukan? Hasilnya sangat dahsyat, semuanya belajar
literasi tak henti. Terbebas dari "virus copas" yang memberangus
kreativitas individu untuk belajar menulis.
Kedua, boleh saja membaca karya orang lain sebanyak mungkin agar kaya akan wawasan. Tetapi karya tersebut untuk dijadikan referensi dalam menulis. Seperti dikatakan Esef Muhamad Zaini, saat menyampaikan materi dalam acara pelatihan menulis yang digagas Komunitas Guru Penulis Bekasi Raya (KGPBR)-sekarang KPPBR bahwa apabila ingin menulis satu artikel bacalah puluhan artikel orang lain sehingga terstimulasi untuk menulis. Maka lahirlah tulisan berkualitas karena sudah mempelajari karya orang lain. Upaya ini juga bisa membangkitkan PEDE dalam menulis serta menghasilkan karya literasi.
Saya sering sharing dengan
guru binaan, mayoritas guru selalu mengatakan tidak PEDE dalam menulis. Bahkan
merasa takut salah, takut tidak bermakna dan takut jelek tulisannya. Suasana
psikologis inilah membuat seseorang hilang rasa percaya diri untuk menulis.
Padahal mayoritas guru sarat pengalaman. Sering membuat makalah, artikel,
jurnal, bahkan sudah menulis skripsi dan tesis. Dalam benaknya, berisi teori dan ilmu serta
wawasannya sangat mumpuni. Realitasnya tetap saja enggan untuk menulis. Saya tak
bosan memberi masukan, bahwa menulis itu wajib hukumnya seperti halnya membaca,
(QS. Al-Alaq: 1-5). Idealnya, setelah membaca kemudian menuliskannya. Itulah
membaca efektif yang mampu mengikat makna. Demikian pendapat Hernowo Hasim.
Bahkan beliau pernah memberi catatan kecil special untuk saya, dengan berujar:
Untuk Bapak Wahyudin, “Semoga buku ini dapat membantu Bapak dalam menjalankan
kegiatan membaca ngemil dan mengikat makna”. (Bandung 05 Oktober 2016). Beliau
mengirim buku “Flow di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna”.
Ketiga, informasi yang diperoleh idealnya direproduksi kembali dengan gagasan baru. Lahirlah ilmu yang aktual dan objektif, sehingga relativitas ilmu itu kian nyata. Sehingga setiap generasi mampu meningkatkan peradaban dengan karya monumental. Dengan karya yang mencerahkan, maka selalu update ilmu dan wawasan sehingga tidak "njomplang" dalam memahami masalah. Banyak orang "fanatik" bahkan terjebak pada taqlid buta karena hanya memahami dari satu sumber. Padahal ilmu sosial itu dinamis dan pasti banyak alternatif jawaban. Bukankah pintu ijtihad tetap terbuka hingga akhir zaman?
Uraian singkat ini, idealnya
membangkitkan gairah kita untuk berkarya di dunia literasi. Kian memperjelas
bahwa menjaring ilmu di tengah gencarnya informasi dibutuhkan kecerdasan IQ,
EQ, dan ESQ. Klimaksnya kita semua kian dewasa dalam merespon informasi di era
global. Strategi yang paling jitu tentunya tiada henti belajar dan belajar. Wallahu
‘Alam.
Terimakasih pak kiyai..saya senang membacanya..saya pengen menulis memang tadi kendala banyak.. kurang PD..pernah saya ikutan kurus belajar menulis namun lagi2 tidak Istiqomah sehingga sampai saat ini masih khayalan.
BalasHapusPernah juga punya web seperti pak kiyai..tapi sekarang enteh kemana tidak di lanjutkan lagi...
Ayooo mulai menulis lagi. Dari cerita dan pengalaman yang sedaerhana dituliskan. Insya Allah manfaat. Ditambah dengan 1, 2 referensi buku plus ayat dan hadits. Insya Allah akan bermanfaat di tengah arus informasi yang tak terbendung...
HapusGimana caranya supaya bisa konsisten menulis, kaya pak haji??
BalasHapusSebenarnya saya pun sama belum konsisten. Hanya, terus mencoba menulis saja dengan bahagia. Tujuannya berbagi pengalaman. Insya Allah ada manfaatnya. Aamiin...
Hapus24 buku dalam waktu 4 tahun...itu sih kereeen....
HapusPadahal Pak Hernowo mulai menulis saat beliau berusia 54 tahun. Karena konsisten, hasilnya dahsyat mewarnai karya literasi monumental sekali. Sangat inspiratif.
Hapus